Penelitian terbaru dari University of Southampton mengungkap bahwa fragmen benua secara perlahan terkelupas dari dasar lempengnya, lalu terseret masuk ke dalam mantel laut. Seperti diketahui, mantel laut merupakan lapisan panas dan padat yang bergerak sangat lambat di bawah dasar samudra.
Material benua yang terbawa ini dapat memicu aktivitas vulkanik selama puluhan juta tahun.
Temuan ini menjawab teka-teki lama, mengapa beberapa pulau vulkanik yang jauh dari batas lempeng tektonik justru memiliki jejak kimia khas benua, padahal lokasinya berada di tengah samudra luas. Studi internasional yang dipublikasikan di Nature Geoscience ini melibatkan peneliti dari Inggris, Jerman, Kanada, dan Wales.

Sebagai gambaran, pulau-pulau kecil seperti Christmas Island diketahui mengandung unsur “kaya” yang biasanya berasal dari kerak benua. Selama bertahun-tahun, ilmuwan menduga bahwa unsur ini berasal dari sedimen samudra yang terseret ke mantel atau dari plume atau kolom batuan panas yang naik dari kedalaman mantel. Namun banyak lokasi vulkanik tidak menunjukkan jejak kedua proses tersebut.
Penelitian tersebut menawarkan mekanisme baru. Bukan hanya pecah di permukaan, benua juga dapat terkelupas dari bawah permukaannya. Simulasi komputer menunjukkan bahwa ketika benua mulai retak, stres mendalam menciptakan “gelombang mantel” yang merayap sangat lambat di dasar benua pada kedalaman 150-200 km.
Gelombang ini secara bertahap mengikis akar benua dan menyeret fragmennya hingga lebih dari 1.000km ke bawah samudra.
Analisis pada wilayah Indian Ocean Seamount Province menunjukkan bahwa setelah Gondwana terpecah, terjadi letusan magma kaya material benua tanpa kehadiran plume dalam. Ini mendukung gagasan bahwa gelombang mantel membawa potongan benua ke lokasi yang jauh, meninggalkan jejak kimia yang bertahan puluhan juta tahun.
Temuan ini tidak hanya menjelaskan sumber magma di wilayah samudra, tetapi juga memberi wawasan baru tentang bagaimana interior Bumi terus berevolusi jauh setelah benua berpisah.

