Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi Indonesia mengalami kemarau basah tahun ini. Fenomena ini ditandai dengan curah hujan yang tetap tinggi meski berada pada periode musim kemarau. Apa Itu Kemarau Basah?
Menurut BMKG, kemarau basah adalah kondisi curah hujan di atas normal pada musim kemarau. Biasanya, musim kering dipengaruhi monsun Australia yang membawa udara kering. Namun, tahun ini monsun tersebut melemah sehingga suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat. Akibatnya, uap air lebih banyak dan awan hujan mudah terbentuk. Inilah penyebab utama munculnya kemarau basah di Indonesia.
Selain itu, faktor lain yang memperkuat pembentukan hujan adalah gelombang Kelvin, konvergensi angin, dan labilitas atmosfer lokal. Kombinasi ini mempercepat pertumbuhan awan hujan di berbagai wilayah.
Sejak awal Agustus, BMKG mencatat peningkatan hujan dengan intensitas ekstrem di berbagai provinsi, seperti Kepulauan Riau, Jambi, Banten, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan kondisi ini dipicu fenomena atmosfer global dan regional, seperti Madden-Julian Oscillation (MJO), gelombang atmosfer, sirkulasi siklonik, hingga pengaruh bibit siklon tropis 90S dan 96W. Pertemuan serta perlambatan angin di sekitar Indonesia juga ikut memperkuat curah hujan.
Direktur Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menambahkan fenomena Dipole Mode negatif turut berperan, karena mengalirkan massa udara basah dari Samudra Hindia menuju wilayah Indonesia.
Untuk itu, BMKG mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi hujan lebat disertai petir dan angin kencang hingga Oktober 2025. Fenomena kemarau basah ini membuat musim kering berbeda dari biasanya, dengan intensitas hujan yang tetap tinggi.