Upaya Intel keluar dari krisis berkepanjangan kini memasuki babak baru yang kontroversial. Presiden Donald Trump pada Jumat lalu mengumumkan bahwa pemerintah AS akan mengambil 10 persen saham Intel, tanpa membayar sepeser pun.
Kepemilikan ini dibiayai dari dana CHIPS and Science Act senilai $11,1 miliar, yang semula diberikan oleh pemerintahan Biden sebagai subsidi, kini dikonversi menjadi ekuitas.
Langkah ini tidak hanya mengejutkan Wall Street, di mana saham Intel langsung naik 6,6 persen, tetapi juga menandai bentuk intervensi negara yang semakin dalam di sektor teknologi. Sejarah mencatat, pemerintah AS hanya mengambil kepemilikan di perusahaan swasta dalam situasi luar biasa, seperti bailout bank dan industri otomotif saat krisis finansial 2008.
Kini, keputusan itu dilakukan bukan karena bencana ekonomi, melainkan demi menjamin kedaulatan teknologi semikonduktor.
Intel memang berada di posisi rawan. Di tengah dominasi TSMC dan Samsung pada proses fabrikasi 3nm, Intel justru terseok, bahkan membatalkan node 20A (kelas 2nm). Proses lanjutan seperti 18A dan 14A masih dirundung masalah rendahnya hasil produksi. Tanpa sokongan negara, sulit membayangkan Intel mampu mengejar ketertinggalan.
Namun, langkah Trump ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah negara kini siap menjadi pemegang saham permanen di perusahaan teknologi strategis? Jika iya, industri swasta AS berpotensi kehilangan sebagian otonomi yang selama ini menjadi kekuatannya.
Di sisi lain, strategi ini bisa menjadi preseden bagi intervensi lebih luas, dari semikonduktor hingga pasokan mineral langka yang juga masuk radar CHIPS Act.
Intel mungkin yang pertama, tetapi jelas bukan yang terakhir. Keputusan ini membuka jalan bagi model kapitalisme negara ala AS: ketika pasar gagal, pemerintah turun tangan bukan hanya sebagai regulator, melainkan juga pemilik.