Sebuah studi terbaru dari Loopex Digital menegaskan bahwa Asia kini menjadi episentrum ketergantungan pada kecerdasan buatan (AI) di dunia kerja. Dari sepuluh negara teratas dengan skor tertinggi, tujuh di antaranya berasal dari Asia, dipimpin oleh Singapura, China, India, dan Indonesia.
Singapura menempati posisi pertama dengan skor 99, menjadikannya negara paling “AI-addicted” di dunia kerja. Sekitar 74 persen pekerja menggunakan AI secara mandiri, sementara 14 persen lainnya mengandalkan sistem yang disediakan perusahaan. Dengan lebih dari 1,4 juta pencarian AI per 100 ribu penduduk, minat terhadap teknologi ini jelas luar biasa tinggi.
China berada di posisi kedua dengan skor 92. Sebanyak 60 persen pekerja memilih menggunakan AI mandiri, sementara sepertiga lainnya memakai sistem yang dipaksakan perusahaan. India menempati posisi ketiga (skor 89) dengan 66 persen penggunaan AI independen dan 26 persen berbasis perusahaan. Indonesia menyusul dekat dengan skor 88, mencatat 70 persen pekerja membawa AI mereka sendiri dan 22 persen lainnya memanfaatkan alat dari kantor.
Selain Singapura dan Indonesia, Asia Tenggara masih punya wakil lain di peringkat atas. Thailand meraih skor 81, dengan tingkat penggunaan AI mandiri mencapai 75 persen. Bahkan lebih tinggi daripada Singapura. Filipina juga masuk daftar dengan skor 78, di mana hanya 14 persen tenaga kerja yang belum menyentuh AI. Hong Kong menutup posisi sepuluh besar dengan skor 76, serta catatan penggunaan mandiri AI tertinggi, yakni 76 persen.
Australia (skor 84) menjadi satu-satunya wakil Oseania, sementara Brasil (skor 82) mewakili Amerika Latin. Dari Eropa, hanya Swiss yang berhasil menembus daftar dengan skor 77.
Menurut Loopex Digital, AI bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan sudah menjadi tulang punggung cara kerja modern. Dari pengambilan keputusan hingga kolaborasi harian, ketergantungan ini memaksa perusahaan untuk memikirkan ulang pelatihan, etika, hingga bagaimana manusia dan mesin berinteraksi.
Singkatnya, Asia bukan hanya mengadopsi AI lebih cepat, tapi juga mengandalkannya sebagai pondasi produktivitas.