Pemerintah Jepang secara resmi menyetujui pembaruan besar pada rencana tanggap darurat nasional pada 1 Juli 2025, menyusul lonjakan aktivitas seismik ekstrem di Kepulauan Tokara, selatan Jepang. Dalam rentang waktu 21 Juni hingga awal Juli, wilayah terpencil ini diguncang lebih dari 1.700 gempa, dengan 60 di antaranya terjadi hanya dalam sehari.
Puluhan warga Akusekijima, bagian dari wilayah Toshima di Prefektur Kagoshima, telah dievakuasi. Meskipun para ahli menegaskan bahwa ini bukan pertanda langsung gempa Nankai Trough, mereka mengingatkan bahwa bencana besar di wilayah tersebut tak terelakkan dan kian mendekat.
Nankai Trough adalah patahan sepanjang 900 km yang membentang dari Kyushu hingga dekat Tokyo. Laporan pemerintah terbaru memperkirakan kemungkinan 80% terjadinya gempa berkekuatan M9 dalam 30 tahun ke depan. Skenario terburuk sebelumnya memproyeksikan 332.000 korban jiwa dan 2,5 juta bangunan hancur akibat gempa dan tsunami. Revisi terbaru menurunkan prediksi korban jiwa menjadi 298.000, namun mayoritas masih disebabkan oleh tsunami.
Pemerintah menargetkan pengurangan korban hingga 80% dalam satu dekade melalui pembangunan infrastruktur baru seperti menara evakuasi tsunami dan tanggul laut tinggi, termasuk di wilayah paling rawan seperti Kochi yang diperkirakan bisa dilanda tsunami setinggi 34 meter.
Prof. Takeshi Sagiya dari Universitas Nagoya menekankan bahwa pendidikan publik lebih penting dari infrastruktur. “Tsunami bisa menghantam pantai hanya lima menit setelah gempa. Masyarakat perlu tahu apa yang harus dilakukan, ke mana harus lari, dan seberapa cepat mereka harus bertindak,” ujarnya.
Selain itu, kenangan pahit bencana nuklir Fukushima 2011 masih membayangi. Menurut Prof. Kazuto Suzuki dari Universitas Tokyo, kesalahan penempatan generator diesel dan kendaraan pemadam kebakaran menyebabkan kegagalan sistem pendingin reaktor. Kini, Jepang menerapkan regulasi baru, namun ancaman pada fasilitas nuklir seperti PLTN Sendai di Kagoshima tetap jadi perhatian utama.
Sebagai gambaran, Jepang berada di zona paling aktif seismik di dunia, menyumbang 18% gempa bumi berkekuatan 6 atau lebih. Dengan realitas ini, para ahli sepakat bahwa bukan soal “jika” bencana terjadi, tetapi “kapan”. Pemerintah, masyarakat, dan infrastruktur harus terus beradaptasi menghadapi risiko bencana skala besar yang kian nyata.