Sony tampaknya masih enggan mengakui bahwa divisi ponsel pintarnya, Xperia, sudah lama kehilangan relevansi. Dalam laporan keuangan terbaru, CFO Sony, Lin Tao, bersikeras menyebut Xperia sebagai “bisnis yang sangat penting” bagi masa depan perusahaan.
Masalahnya, sulit menemukan data penjualan atau pangsa pasar yang mendukung klaim sang CFO tersebut.
Realitasnya, Xperia juga sudah lama menjadi bayang-bayang dari kejayaan masa lalu. Seperti diketahui, Sony sudah lama menarik diri dari pasar AS, melemah di pasar Jepang, bahkan menghentikan produksi tahun ini.
Rumor soal mundurnya Sony dari Eropa semakin memperkuat kesan bahwa Xperia kini hanya hidup di lingkaran penggemar fanatik yang semakin sedikit, serta dengan peluncuran produk yang jarang dan distribusi terbatas.
Ucapan Lin Tao tentang “menghargai teknologi komunikasi” yang telah dikembangkan lama memang masuk akal. Teknologi kamera dan komponen Xperia sering kali dipakai di lini produk lain Sony, seperti kamera mirrorless atau bahkan PlayStation. Namun, ini justru mempertegas satu hal: Xperia kini lebih berperan sebagai bank suku cadang ketimbang pemain serius di pasar smartphone.
Strategi? Sulit dibilang ada. Sony merilis model baru dengan pemasaran minim dan harga yang menempatkannya di arena yang membuat mereka bertarung melawan merek yang lebih populer dan agresif. Hasilnya, Xperia nyaris tak terdengar gaungnya di luar forum penggemar fanatik.
Kalau Sony memang masih memegang Xperia demi “kepentingan strategis,” mungkin yang dimaksud adalah menjaga gengsi dan mempertahankan warisan teknologi, bukan meraih kembali kejayaan pasar. Masalahnya, konsumen tidak membeli gengsi, mereka membeli produk yang relevan, mudah diakses, dan didukung ekosistem yang kuat.
Xperia hari ini terasa seperti tamu undangan yang sudah lama lewat jam pesta, tapi tetap berdiri di sudut ruangan. Tidak ada yang mengusir memang, tapi juga tidak ada yang mengajak bicara. Pertanyaannya, sampai kapan Sony mau berpura-pura bahwa menjadi tamu di situ itu masih penting?