Dulu, kehadiran layanan streaming dianggap sebagai obat mujarab untuk memberantas pembajakan. Semua konten tersedia secara legal, dengan harga terjangkau, tanpa repot mencari situs gelap.
Namun, satu dekade setelah ledakan Netflix dan kawan-kawan, kenyataannya berbalik. Ekosistem streaming hari ini begitu terpecah, mahal, dan penuh batasan hingga justru mendorong orang kembali ke pembajakan, yang ironisnya, terasa lebih rasional dan “dewasa” bagi sebagian penonton.
Data dari MUSO, perusahaan pemantau pembajakan berbasis di London, memperlihatkan tren ini dengan gamblang. Pada 2020, kunjungan ke situs pembajakan global berada di angka 130 miliar. Namun pada 2024, jumlah itu melonjak menjadi 216 miliar. Lebih dari 96 persen berasal dari streaming ilegal.
Di Swedia, seperempat responden, terutama kelompok usia 15-24 tahun, mengaku menonton konten bajakan. Angka-angka ini menegaskan: pembajakan tidak mati, hanya menunggu momen untuk bangkit kembali.
Persoalan utamanya adalah fragmentasi layanan. Konten yang dulu bisa diakses dengan satu langganan, kini tersebar di berbagai platform: Netflix, Disney+, HBO Max, Prime Video, hingga layanan lokal. Untuk mengikuti semua serial populer, rumah tangga Eropa rata-rata harus mengeluarkan sekitar €700 atau sekitar Rp13,2 juta per tahun untuk tiga atau lebih layanan VOD.
Ironisnya, meski harga naik, kualitas layanan justru menurun. Banyak platform kini memaksa iklan meski pelanggan sudah membayar, sementara pembatasan wilayah memaksa pengguna menggunakan VPN demi akses konten penuh.
Fenomena ini sejalan dengan teori Gabe Newell, co-founder Valve, yang sejak 2011 menyebut bahwa pembajakan bukan soal harga, melainkan soal layanan. Lebih dari satu dekade kemudian, industri streaming membuktikan ucapan itu dengan sempurna.
Alih-alih memberikan kenyamanan, mereka menciptakan ketidaknyamanan yang justru membuka jalan bagi situs ilegal untuk “mengisi kekosongan.”
Guardian menyebut tren ini sebagai “enshittification”. Layanan yang awalnya ramah pengguna perlahan menurun kualitasnya demi profit, hingga akhirnya mati. Netflix kini bisa menelan biaya £15 per bulan, sementara kualitas streaming bahkan berbeda tergantung browser yang digunakan. Tidak heran jika semakin banyak penonton yang mengibarkan bendera tengkorak, bukan karena cinta pada pembajakan, melainkan frustrasi pada layanan resmi.
Streaming pernah berjanji menghadirkan kelimpahan dan kenyamanan. Yang hadir justru kelangkaan buatan dan biaya yang kian absurd. Jika industri tak segera berbenah, pembajakan bukan hanya akan kembali normal, tapi bisa dianggap pilihan paling logis.