Seekor kambing jantan yang meringis kesakitan akibat batu di kandung kemih menjadi subjek tak biasa dari sebuah lompatan teknologi medis. Kambing tersebut tidak sekadar dirawat, tapi juga membantu mendobrak batas dalam pengukuran rasa sakit.
Yang menarik, penelitian ini bukan hanya untuk hewan, tetapi mungkin suatu hari nanti, juga untuk manusia non-verbal. Misalnya seperti anak-anak atau pasien dengan gangguan komunikasi.
Adalah Ludovica Chiavaccini, profesor anestesiologi di University of Florida, yang memimpin riset ini. Bersama timnya, ia menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membaca ekspresi wajah kambing dan mengenali tanda-tanda nyeri.
Menggunakan kombinasi model konvolusional buatan sendiri dan versi fine-tuned dari VGG-16, mereka melatih jaringan saraf buatan untuk membedakan kambing yang kesakitan dan yang nyaman hanya berdasarkan wajah mereka.
Hasil awalnya menjanjikan: akurasi model berada di kisaran 62% hingga 80%, tergantung skenario pengujian. Studi ini diterbitkan pada 7 November di jurnal Scientific Reports, dan hingga kini telah melibatkan 40 kambing lintas ras, menunjukkan potensi sistem ini untuk diadaptasi pada hewan domestik lain, dan bahkan manusia.
Namun, isu yang diangkat lebih dari sekadar kesejahteraan hewan. “Hewan yang kesakitan cenderung tidak bertambah berat badan dan kurang produktif,” ujar Chiavaccini. Dalam konteks peternakan modern, rasa sakit bukan hanya soal etika, tapi juga efisiensi ekonomi. Petani kini semakin sadar bahwa manajemen nyeri yang baik berdampak langsung pada hasil produksi.
Saat riset ini dimulai, tak ada skala rasa sakit yang valid untuk kambing. Kini memang sudah ada satu, tapi hanya terbatas untuk kambing jantan pasca-kastrasi. Ini menunjukkan betapa terbatasnya sistem evaluasi yang ada, dan betapa mendesaknya pengembangan metode berbasis data dan teknologi.
Implementasi skala nyeri bertenaga AI di klinik veteriner masih membutuhkan riset lanjutan, tetapi ini bisa menjadi solusi atas persoalan lama dalam dunia medis: bagaimana menilai rasa sakit pada mereka yang tak bisa bicara?
Dari kandang kambing hingga ruang ICU anak-anak, riset ini menunjukkan bahwa teknologi bisa menjadi jembatan empati dalam bentuk paling praktisnya, melihat rasa sakit yang tak bisa diungkapkan.