Sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal PLOS One mengusulkan bahwa tingkat kelahiran global yang selama ini dianggap cukup untuk menjaga kelangsungan populasi, yakni 2,1 anak per perempuan, mungkin jauh dari memadai.
Penelitian yang dipimpin oleh Takuya Okabe dari Universitas Shizuoka, Jepang, menunjukkan bahwa angka minimal untuk menjamin keberlangsungan populasi dalam jangka panjang seharusnya mendekati 2,7 anak per perempuan, terutama bila mempertimbangkan dinamika acak dalam demografi.
Tingkat penggantian (replacement rate) 2,1 anak biasanya diasumsikan cukup untuk menyeimbangkan jumlah kelahiran dan kematian. Namun, studi ini menunjukkan bahwa angka tersebut gagal memperhitungkan variasi acak dalam jumlah anak yang dimiliki, angka kematian, rasio jenis kelamin, serta fakta bahwa sebagian orang dewasa mungkin tidak pernah bereproduksi. Dalam populasi kecil, faktor-faktor ini dapat mempercepat hilangnya garis keturunan keluarga secara total.
Melalui model matematika yang mensimulasikan dinamika populasi lintas generasi, peneliti menemukan bahwa tingkat kelahiran yang lebih tinggi dibutuhkan untuk menstabilkan populasi terhadap ketidakpastian tersebut. Temuan ini memberikan wawasan baru terhadap risiko jangka panjang yang mungkin tak terlihat di masyarakat besar dan maju saat ini.
Menariknya, studi ini juga menyoroti bahwa rasio kelahiran yang condong ke perempuan dapat menjadi “penyangga alami” terhadap risiko kepunahan. Dalam sejarah evolusi, kondisi ekstrem seperti perang atau kelaparan sering dikaitkan dengan peningkatan kelahiran bayi perempuan – suatu fenomena yang mungkin menjadi strategi adaptif untuk menjaga kesinambungan garis keturunan.
Namun, temuan ini datang pada saat global tengah mengalami penurunan tingkat kelahiran yang terus berlanjut. Menurut PBB, rata-rata global pada 2024 adalah sekitar 2,3 anak per perempuan, dan diperkirakan akan turun di bawah 2,1 pada pertengahan abad ini. Penurunan ini terjadi bahkan di negara berkembang yang dulunya memiliki angka kelahiran tinggi.
Penulis menyimpulkan bahwa untuk menjaga keberlanjutan populasi, termasuk bahasa, budaya, dan identitas keluarga, kita perlu meninjau ulang pemahaman konvensional tentang angka kelahiran ideal. Temuan ini juga dapat berdampak pada konservasi spesies langka, di mana target reproduksi selama ini didasarkan pada asumsi yang sama dengan populasi manusia.